Djawanews.com – Kementerian Hukum (Kemenkum) mengatakan masih ada proses persidangan yang harus dilakukan terkait ekstradisi buronan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP), Paulus Tannos dari Singapura setelah otoritas setempat menolak permohonan penangguhan penahanan yang diajukannya.
"Saya didampingi oleh Pak Dirjen AHU dan juga staf khusus Menteri telah menerima pemberitahuan dari Otoritas Pusat di Singapura terkait dengan keputusan pengadilan Singapura terkait dengan permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan atau yang kita kenal dengan istilah provisional arrest," kata Menteri Hukum Supratman Andi Agtas di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa 17 Juni.
Supratman sidang Paulus Tannos dilaksanakan otoritas Singapura pada 23-25 Juni. “Kita tinggal menunggu, prosesnya masih akan panjang, Kementerian Hukum sebagai otoritas lusat terus berkoordinasi dengan KPK kemudian Mabes Polri lewat Divisi Hubungan Internasional dan juga Kejaksanaan Agung terus melakukan komunikasi,” ungkapnya.
"Karena nanti tanggal 23 sampai dengan tanggal 25 Juni ini akan dilakukan pemeriksaan terkait dengan pokok perkara yakni apakah permintaan ekstradisi kita itu akan dikabulkan atau ditolak," sambung politikus Partai Gerindra itu.
Setelah sidang di pengadilan Singapura, masih ada proses banding. Pihak Indonesia maupun Paulus Tannos hanya memiliki satu kesempatan.
Adapun Paulus Tannos masih bersikeras tak mau pulang ke Indonesia secara sukarela untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Karena itu kita lihat perkembangannya sampai dengan tanggal 23-25 akan ada pemeriksaan di pengadilan, kemudian setelah itu akan ada keputusan dan apakah ada upaya hukum berikutnya, baik oleh kita maupun oleh yang bersangkutan kita tunggu," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Paulus Tannos yang merupakan Direktur Utama PT Sandipala Arthapura akhirnya ditangkap otoritas Singapura setelah masuk daftar pencarian orang sejak 2021. Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) oleh KPK pada 2019.
Ketika itu dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama tiga orang lainnya, yakni Isnu Edhi Wijaya selaku mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI); anggota DPR RI 2014-2019 Miryam S Haryani; dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi.