Dilansir dari blog.netray.id: Kasus kejahatan jalanan di wilayah Yogyakarta, atau yang dikenal publik dengan sebutan ‘klitih’, kembali terdengar marak belakangan ini. Aksi klitih dilakukan oleh beberapa orang berkendara sepeda motor pada malam hari. Mereka lantas dengan sengaja menyerang pengguna jalan lain menggunakan senjata tajam. Korban bahkan sampai ada yang tewas. Aksi ini membuat jalan raya di Yogyakarta pada malam hari terasa sangat menyeramkan.
Kasus klitih ini sebenarnya telah terjadi lama di Yogyakarta. Konon menurut kabar yang tersebar, klitih adalah fenomena turun temurun. Seperti penuturan dari mantan pelaku klitih di Yogyakarta yang diwawancarai oleh Mojokdotco dalam sebuah podcast. Klitih hampir menjadi warisan pada tiap-tiap sekolah menengah atas di Yogyakarta
Menurut narasumber tersebut, klitih di zaman sekarang telah mengalami pergeseran aksi atau tindakan jika dibandingkan dengan yang dulu kala. Awalnya, klitih adalah bagian dari tawuran antar sekolah. Sekolah-sekolah yang berseteru mencari “musuh” mereka di jalan raya tanpa menggunakan senjata tajam. Akan tetapi sejak tahun 2011an tindakan klitih tak lagi urusan sekolahan. Korban klitih bisa siapa saja yang kebetulan berpapasan dengan rombongan pelaku klitih dan kali ini menggunakan senjata tajam.
Momen-momen Puncak Perbincangan Isu Klitih
Publik dalam negeri gaduh dengan kasus yang seperti tidak pernah terselesaikan ini. Media Monitoring Netray mencoba melihat keramaian media sosial sebagai representasi publik dalam dua tahun kebelakang. Apa saja wacana yang dibicarakan warganet terkait kasus klitih ini? Dan bagaimana pola perkembangan kasus klitih selama dua tahun tersebut?
Dengan memasukan kata kunci “klitih” pada periode 1 April 2020-10 April 2022, perbincangan seputar topik pemantauan didapati sebanyak 118,191 twit. Apabila dilihat dari grafik Peak Time di atas, antara 2020 dan 2021 sudah muncul pembahasan warganet Twitter. Akan tetapi kenaikan perbincangan tersebut tidak sebanyak perbincangan pada bulan April tahun 2022.
Tanggal 15 November 2020 terdapat 270 twit warganet yang mengulas isu klitih. Perbincangan ini terjadi karena kemunculan kasus klitih di daerah Bantul, Yogyakarta dengan korban luka-luka sebanyak dua orang.
Kemudian 21 Januari 2021, perbincangan klitih kembali naik di jagat maya Twitter yakni sebanyak 208 twit. Pada hari itu terjadi kembali kasus klitih di daerah Tamansiswa, Yogyakarta dengan korban mengalami luka sambit.
Masih di tahun yang sama, kasus klitih kembali terjadi di daerah Kotagede, Yogyakarta. Perbincangan warganet mencapai total 550 twit pada tanggal 21 April 2021. Sederetan kasus lain masih terjadi di beberapa wilayah Yogyakarta akan tetapi intensitas perbincangan warganet tidak begitu menonjol.
Wacana yang berkembang di kalangan warganet adalah tentang perbedaan antara begal dan klitih. Pembahasan ini mengalami kenaikan di tanggal 4 Agustus 2021 dengan twit sebanyak 573 twit. Keramaian perbincangan ini menjadi sorotan warganet yang notabene berada di luar Yogyakarta. Mereka tidak paham istilah klitih yang merupakan aksi kriminal dengan melukai orang lain di jalan raya tanpa motif spesifik.
Tidak sedikit dari warganet yang beropini bahwa aksi klitih itu sama halnya dengan tindakan begal. Mereka tidak memahami bahwa aksi klitih tidak ditujukan untuk mengambil atau merampas barang berharga milik orang lain. Aksi kekerasan yang dilakukan begal adalah agar korbannya tidak melawan saat diambil barangnya. Sedangkan tujuan klitih hanya untuk melukai orang tanpa mengambil harta sepeserpun.
Pembahasan warganet terus menggema di linimasa Twitter hingga akhir tahun 2021, tepatnya kembali memuncak di tanggal 28 Desember. Banyaknya kasus klitih yang tersiar di media sosial menaikan tagar #YogyaTidakAman sebanyak 5,856 twit.
Memasuki awal tahun 2022 sempat tidak ada perbincangan seputar klitih di Twitter. Keramaian pembahasan klitih kembali terjadi lagi pada 8 April 2022. Aksi klitih menewaskan seorang siswa SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta bernama Daffa Adzin Albazith (17 tahun). Kasus tersebut memicu amarah publik. Kali ini masyarakat mengecam dan meminta tindakan klitih untuk dibasmi hingga akarnya. Masyarakat juga mendesak Pemda dan aparat untuk memberikan hukuman seberat-beratnya para pelaku.
Kasus kematian Daffa ini menjadi puncak perbincangan klitih selama 2 tahun belakangan yakni dengan total twit sebanyak 20,766 ribu. Kasus klitih Daffa tersebut sekaligus menjadi pemicu pemerintah daerah dan aparat menindak klitih secara serius. Upaya yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan pemerintah daerah salah satunya dengan penggantian istilah ‘klitih’.
Berdasarkan peak time yang telah dipaparkan, aksi klitih banyak dilakukan ketika akhir pekan yaitu hari sabtu ataupun minggu. Selain bergerak di akhir pekan, beberapa kasus memuncak pada bulan-bulan akhir tahun menjelang tahun baru dan awal tahun.
Memahami Suara Warganet Kritisi Aksi Klitih
Setelah mengulas linimasa kemunculan wacana klitih di ruang perbincangan warganet, Netray ingin melihat lebih dalam lagi bagaimana pendapat publik, termasuk warganet, fenomena sosio-kriminal ini.
Dari keseluruhan total twit, perbincangan klitih didominasi opini bernada negatif sebanyak 80,264 ribu twit. Warganet mengkritisi dan memberikan opini atas ironi kasus klitih tersebut. Pasalnya klitih telah terjadi sejak lama tetapi pihak pemerintah maupun pihak berwajib seperti tidak menyelesaikan akar permasalah tindakan klitih.
Wajar apabila warganet mengungkapkan opini seperti itu, sebab kenyataanya kasus klitih hampir terus terjadi di Yogyakarta. Selama ini masyarakat merasakan kecemasan dan kekhawatiran terkait maraknya aksi klitih ini, tetapi pihak berwenang terkesan belum memiliki solusi yang komprehensif dalam menangani kasus tersebut.
Mahasiswa pascasarjana Universitas Sanatha Dharma, Yohanes Marino menulis tesis yang menunjukkan bahwa para pelaku ini tidak tumbuh dalam lingkungan yang steril. Studinya yang berjudul “Potret Klitih: Studi Penelusuran Identifikasi Subjek Lacanian Pelaku Klitih” menceritakan sejumlah latar belakang sejarah hidup pelaku klitih yang semuanya masih berusia remaja.
Kekerasan dalam mendidik anak, keterasingan di pergaulan sekolah, terjerumus pada kelompok gangster, penyalahgunaan narkoba, dan segala macam persoalan pendewasaan menjadi sumber agresivitas dari sekian banyak pemuda di Yogyakarta. Kelompok-kelompok gangster kecil di Kota Pelajar ini menjadi pupuk yang membuat mereka terbiasa dengan aksi menyisir jalan raya hingga berujung tindak kekerasan.
Fenomena yang mengakar di masyarakat Yogyakarta ini seakan tidak dapat ditangkap oleh para pemangku kepentingan. Pasalnya, salah satu tawaran guna memberantas klitih adalah dengan menghapus atau mengganti pemahaman atas istilah tersebut. Keputusan penggantian istilah ‘klitih’ ini pun sontak menjadi perhatian publik. Seperti twit bernada sindiran yang dilemparkan oleh @mojokdotco dan @suhariyanto96 atas pola pikir institusi dalam menyelesaikan kasus klitih tersebut.
Istilah klitih yang sudah mengalami pergeseran makna ini tidak seratus persen keliru. Dalam makalah yang ditulis mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret berjudul “Kejahatan Jalanan Klitih oleh Anak Di Yogyakarta” menyebutkan bahwa klitih berasal dari Bahasa Jawa yang mempunyai arti berjalan-jalan atau cari angin. Kecenderungan acak dari kegiatan klitih akhirnya mendapat konotasi karena dilakukan oleh pemuda bermasalah yang butuh saluran kekerasan.
Akhirnya melihat penyelesaian yang diambil oleh pihak berwenang dinilai kurang memuaskan, masyarakat berargumen untuk menerapkan hukum rimba bagi pelaku klitih. Sebab menurut warganet, pelaku klitih yang tertangkap polisi hingga dipenjara setelah keluar justru semakin menjadi berkuasa dan sombong pada anggota geng atau teman-temannya.
Harapannya supaya para pelaku klitih mempunyai sedikit ketakutan dan enggan melakukan aksi klitih kembali. Sehingga aksi klitih di wilayah Yogyakarta mulai berangsur berkurang bahkan hilang. Demikian analisis Netray, simak ulasan terkini lainnya dalam blog.netray.id.
Editor: Ananditya Paradhi