Djawanews.com – Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK) mengatakan petinggi Badan Usaha Milik Negera (BUMN) tidak boleh dihukum hanya karena perusahaan merugi. Jika demikian, kata JK, maka semua BUMN mesti ditindak.
Pernyataan itu disampaikannya ketika menjadi saksi meringankan atau a de charge untuk terdakwa Karen Agustiawan di persidangan kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Pertamina periode 2011-2014.
Bermula saat JK merasa bingung mengenai Karen Agustiawan yang dijadikan terdakwa. Padahal, hanya menjalankan tugas sesuai instruksi untuk memenuhi kebutuhan energi di atas 30 persen.
"Saya ikut membahas hal ini, karena kebetulan saya masih di pemerintah waktu itu," ujar JK dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 16 Mei.
"Memang ada kebijakan-kebijakan dalam itu, ya. Tapi bapak tidak tahu apakah pertamina merugi atau untung, tidak tahu?" tanya hakim.
Merespons pertanyaan itu, JK menjelaskan dalam berbisnis, termasuk di BUMN, hanya akan berujung pada dua hal yakni keuntungan atau kerugian.
"Tidak-tidak. Tapi begini, boleh saya tambahkan, kalau suatu langkah bisnis merugi, cuma dua kemungkinannya dia untung atau rugi," tegas JK.
JK lantas menegaskan apabila seluruh kerugian berujung pada proses hukum, maka, semua BUMN yang tak mendapat keuntingan juga mesti ditindak.
"Kalau semua perusahaan rugi harus dihukum, maka semua BUMN karya harus dihukum, ini bahayanya. Kalau semua perusahaan rugi harus dihukum, maka semua perusahaan negara harus dihukum, dan itu akan menghancurkan sistem," ungkapnya
Menurutnya, dalam berbisnis untung rugi akan dipengaruhi banyak faktor. Ia pun mengibatkan masa pandemi COVID-19 yang menyebabkan banyak perusahaan mengalami kerugian.
"Tadi saya katakan, bahwa ini adalah sebuah kebijakan, juga dipengaruhi oleh pengaruh dari luar. Masalah COVID misalnya, siapa pun direktur utama pertamina, siapa pun dirut perusahaan karya pasti rugi pada waktu itu, karena tiba-tiba AC dipadamkan, kita tidak kerja, orang tidak ke mall, industri tutup, pasti harga turun, pasti rugi. Kalau dirut Pertamina dihukum karena itu, saya kira kita bertindak terlalu menganiaya berlebihan," ucapnya.
Bahkan, JK juga sempat menyampaikan bila kerugian BUMN selalu berujung pada proses hukum, dikhawatirkan akan berdampak minimnya inovasi dan kreativitas dalam memajukan perusahaan negara.
"Itu yang saya ingin sampaikan, karena ini bahaya nanti tidak ada orang mau kerja lagi di perusahaan negara kalau begini misalnya. Rugi dua tahun langsung dihukum, itu sangat berbahaya, kemudian tidak ada orang mau berinovasi apabila itu terjadi," kata JK.
Dalam kasus ini, Karen Agustiawan didakwa merugikan negara sebesar 113,84 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp1,77 triliun akibat dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau LNG di Pertamina pada 2011–2014.
Dakwaan tersebut berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam rangka penghitungan kerugian negara atas pengadaan LNG perusahaan AS, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) pada Pertamina dan instansi terkait lainnya Nomor: 74/LHP/XXI/12/2023 tanggal 29 Desember 2023.
Karen didakwa memperkaya diri sebesar Rp1,09 miliar dan sebanyak 104.016 dolar AS atau setara dengan Rp1,62 miliar. Karen turut didakwa memperkaya suatu korporasi, yaitu CCL senilai 113,84 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,77 triliun, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Selain itu, dia juga didakwa memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di AS tanpa adanya pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis secara teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.
Karen juga disebut tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2 serta memberikan kuasa.