YOGYAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A., menegaskan bahwa Islam adalah agama fitrah yang berpihak pada kemanusiaan. Dalam kajian Fiqh Disabilitas Psikososial, Gus Hilmy menyampaikan bahwa setiap bentuk disabilitas adalah bagian dari ujian Allah, dan penerimaan atas takdir tersebut merupakan bentuk ibadah kesabaran yang bernilai tinggi di sisi Allah.
Pernyataan ini disampaikan dalam “Diskusi Terpumpun Lanjutan Sosialisasi Fiqh Disabilitas Psikososial” yang digelar oleh Komisi Nasional Disabilitas (KND) di Pondok Pesantren Bumi Cendekia, Yogyakarta, dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental se-Dunia 2025 pada Senin (13/10/2025).
Acara yang menjadi bagian dari kerja sama Senator asal D.I. Yogyakarta, KND, dan Kementerian Sosial ini merupakan tindak lanjut dari diskusi serupa di Jakarta pada September lalu dan melibatkan 150 peserta lintas sektor, mulai dari Kemensos RI, Nahdlatul Ulama (NU), organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga komunitas penyandang disabilitas. Tujuannya adalah memperkuat pemahaman keagamaan yang berpihak pada penyandang disabilitas, khususnya mereka yang mengalami hambatan psikososial.
Dalam sambutannya, pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut menyampaikan bahwa Islam memandang penyandang disabilitas psikososial bukan sebagai beban, melainkan sebagai manusia utuh dengan potensi dan hak yang sama.
“Menerima takdir berarti menerima bahwa Allah menyiapkan skema yang lebih indah bagi setiap hambanya,” kata salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut, mengutip ajaran Imam Jalaluddin ar-Rumi tentang makna sabar: sabar adalah melihat duri tapi yang tampak kelopak bunga, melihat malam tapi yang tampak cahaya fajar.
Lebih lanjut, Gus Hilmy menegaskan pentingnya perwalian sosial bagi individu dengan gangguan mental atau keterbatasan daya pikir, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an. Dalam konteks kehidupan modern, perwalian itu bermakna tanggung jawab negara dan masyarakat untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi.
“Negara dan masyarakat wajib hadir, memberi perhatian, bukan menjauhi atau mengisolasi mereka. Prinsip-prinsip Islam harus hadir dalam relasi sosial kita, termasuk kepada saudara-saudara penyandang disabilitas psikososial,” ujar anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tersebut.
.
Gus Hilmy juga mengapresiasi inisiatif Komite Nasional Disabilitas (KND) yang menggagas pelaksanaan ajaran agama bagi penyandang disabilitas psikososial. Menurutnya, langkah itu sejalan dengan semangat Islam yang inklusif dan rahmatan lil ‘alamin.
“Pondok pesantren sejak lama menjadi ruang terbuka bagi siapa pun yang ingin mengaji dan beraktivitas. Teladan almarhum KH Imam Aziz mengingatkan kita untuk terus bersemangat membersamai mereka dalam kondisi apa pun,” kata Gus Hilmy.
Diskusi ini juga dihadiri oleh Ketua KND Dante Rigmalia, Kementerian Sosial RI Saifullah Yusuf , serta tokoh-tokoh dari PBNU, Lakpesdam NU, LBM NU, P3M, dan PR Yakkum Yogyakarta. Kegiatan diakhiri dengan rumusan tindak lanjut yang akan menjadi bahan rekomendasi kebijakan dan program lintas sektor dalam mendukung penyandang disabilitas psikososial.
Sementara itu, pihak KND Fatimah Asri Mutmainnah menegaskan bahwa rekomendasi forum ini sangat penting. Ia berharap PBNU bisa segera membuat rumusan terkait fiqh disabilitas psikososial akhir tahun ini.
“Desakan permohonan bahwa fiqh ini sangat ditunggu, dah semoga yang jadi harapan bersama fiqh ini bisa selesai dan jadi kado di Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2025. Setelah ini ada lanjutan diserahkan ke PBNU untuk menindaklanjuti. Sekali lagi semoga Desember sudah jadi kado terindah,” ungkapnya.
Sebagai bagian dari upaya memperkuat kesetaraan sosial dan keberagamaan bagi seluruh warga negara, Menteri Sosial RI Saifullah Yusuf diwakili oleh Staf Khusus Menteri Sosial Ishaq Zubaidi Raqib, menegaskan pentingnya kehadiran fiqh disabilitas psikososial sebagai panduan moral dan sosial bagi masyarakat.
“Fiqih disabilitas yang kita susun bersama diharapkan memberi dampak nyata dalam menumbuhkan ruang kesetaraan di tengah masyarakat. Setiap individu memiliki keterbatasan dan keunikan, namun semuanya berhak menjalankan hak dan kewajiban beragama dengan penuh martabat,” katanya.
Pernyataan ini menegaskan komitmen Kementerian Sosial untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas memiliki ruang partisipasi yang setara dalam kehidupan sosial dan keagamaan.
Sementara narasumber utama dalam diskusi terpumpun ini, KH Sarmidi Husna, mempertanyakan, mengapa susah ada UU-nya, sudah ada aturan fiqhnya, fasilitas untuk disabilitas masih kurang diperhatikan?
"Ini membutuhkan kerja bersama. Kita dorong bersama-sama karena sampai hari ini pelaksaannya belum efektif. Maka kolaborasi siang ini harus ada tindaklanjutnya," ungkapnya.