Djawanews.com - Anggota Komisi VIII DPR RI Sri Wulan menyoroti utang sebesar Rp499 milliar yang dimiliki Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kepada pihak ketiga terkait penanganan Covid-19. Hasil temuan tersebut berdasarkan laporan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Seperti yang kita tahu, kan anggaran BNPB itu lumayan cukup besar. Lalu kenapa masih saja menunggak utang seperti itu? Apalagi sampai disorot oleh media-media. Jangan sampai citra BNPB ini menurun,” kritik Wulan saat Rapat dengan Kepala BNPB di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis, 26 Agustus kemarin.
Katanya, selain mempunyai utang Rp499 milliar terkait penanganan Covid-19, BNPB juga masih memiliki utang pembayaran penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebesar Rp1,36 triliun kepada sektor swasta. Dana tersebut digunakan untuk penanganan karthutla sepanjang tahun lalu di enam provinsi.
“Pada rapat-rapat sebelumnya Komisi VIII kan sudah memperingatkan untuk segera tuntaskan hutang karhutla itu tetapi sampai saat ini belum juga, sekarang malah ditambah lagi dengan temuan utang baru sebesar Rp499 miliar jadi selama ini masukan kami didengarkan atau tidak?” tanya politisi Partai NasDem tersebut.
Wulan meminta agar BNPB segera menuntaskan utang-utangnya kepada pihak ketiga. Karena apabila dibiarkan dikhawatirkan akan menganggu kinerja dari BNPB itu sendiri.
“Pihak ketiganya itu siapa, kenapa sampai sekarang utang segitu besar masih belum ditagih? Seharusnya BNPB tuntaskan saja utangnya dulu jangan malah meminta tambahan anggaran yang cukup besar untuk konvensi bencana” papar Wulan.
Merespons pertanyaan itu, Kepala BNPB Letnan Jenderal Ganip Warsito mengaku awalnya bingung karena utang tersebut sudah ditemukan ketika dirinya baru memimpin BNPB.
"Saya sendiri masuk ke BNPB bingung dengan utang-utang itu, Pak. Kenapa ini bisa terjadi hal seperti ini, selama 3 bulan ini saya ditagih utang terus, Pak dan saya berusaha keras untuk mendapatkan, proses ini cepat selesai," kata Ganip.
Dia menjelaskan, kegiatan utang itu berasal dari pembiayaan penanggulangan bencana yang sudah dikerjakan dan belum sempat dialokasikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berupa Dana Siap Pakai (DSP) dan belum masuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BNPB 2020.
"Untuk membayar utang ini menggunakan anggaran 2021 sehingga perlu dilakukan audit atau verifikasi, ini prosesnya yang membuat lambat, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan," katanya.
"Hasil audit BPKP kita dapat alokasi DIPA BNPB untuk membayarkan itu, dari total 1,3 triliun itu kita sudah ada, didukung 1,1 triliun dan sekarang dalam prsoes pembayaran, sudah kita selesaikan dengan kesepakatan masing-masing rekanan 70 persen dulu dari nilai kontraknya sambil menunggu penyelesaiannya secara utuh dan ini sudah running," ujarnya.
"Intinya, yang 1,3 trilun itu sudah dalam proses pembayaran," tegas Ganip.