Djawanews.com—Ketika senjata dibungkam maka kata-kata bisa menjadi setajam pisau untuk melawan. Inilah mungkin kata-kata yang tepat untuk seorang sastrawan sekaligus politikus dari Sumatera Barat, Abdul Muis. Lahir di tanah Minang dengan pendidikan Belanda, Abdul Muis menolak keras diskriminasi pemerintah Belanda terhadap masyarakat pribumi.
Abdul Muis Melawan dengan Tulisan dan Kata-kata
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Eropa Rendah (ELS), layaknya pemuda Minang, Abdul Muis merantau ke Batavia dan melanjutkan pendidikannya di Stovia pada tahun 1902 ketika usianya 19 tahun. Di sinilah mulai terlihat pemberontakan Abdul Muis terhadap diskriminasi yang dilakukan orang Eropa terhadap pribumi.

Abdul Muis (sage2vacationhome.wordpress.com)
Secara garis keluarga, Abdul Muis adalah keluarga dari kasta terpandang di Sungai Puar, Sumatera Barat. Namun di Stovia, oleh orang-orang Eropa Abdul Muis dianggap rendah dan kolot. Abdul Muis pun mulai melawan. Ia protes atas aturan yang mewajibkan pelajar bumiputra berpakaian tradisional.
Tidak tahan dengan perlakuan diskriminatif, Abdul Muis minggat dari Stovia. Selepas dari Stovia, karena kemahiran bahasa dan menulisnya, Abdul Muis diangkat menjadi juru tulis di Departemen Pendidikan dan Agama kolonial. Pengangkatan ini tidak lain karena campur tangan Mr. Abendanon (kepala Dinas Pendidikan yang dikenal sebagai penganut politik etik dan seorang liberal).
Jabatan sebagai juru tulis pemerintah kolonial adalah jabatan bergengsi kala itu, karena akan sangat sulit bagi pribumi untuk ikut serta menjadi bagian administratif pemerintah. Bahkan Abdul Muis tercatat sebagai pribumi pertama yang menjadi juru tulis Belanda.
Seperti halnya di Stovia, sifat diskriminatif pemerintah kolonial Abdul Muis temukan di Departemen Agama. Abdul Muis mendapatkan gaji lebih rendah dengan rekan kerjanya orang Eropa yang memiliki jabatan dan tugas sama. Tidak terima diperlakukan demikian Abdul Muis angkat kaki dari Departemen Agama.
Kebenciannya terhadap sikap diskrimanasi menyebabkan Abdul Muis memasuki dunia politik dari tahun 1905 sampai 1912. Setelah itu kemudian ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) atas permintaan Tjokroaminoto agar ikut merintis SI di Bandung.
SI Bandung lalu menerbitkan harian Kaoem Moeda di mana Abdul Muis mulai mengeluarkan karya tulisnya dan dengan cepat membuat harian ini diterima masyarakat.

Novel Salah Asuhan (tokopedia.com)
Salah satu karya tulis Abdul Muis yang paling terkenal dan menunjukkan perlawanannya terhadap sifat diskriminatif kolonial yakni novel Salah Asuhan. Selain tulisan Abdul Muis juga piawai membakar semangat juang lewat pidatonya. Salah satu tokoh nasional yang mengaguminya dalam hal ini yakni wakil presiden pertama, Mohammad Hatta.
“Aku kagum melihat cara Abdul Muis berpidato. … Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” tulis Hatta dalam memoarnya Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi I.