Djawanews.com - Energi surya Indonesia hingga akhir 2024 baru mencapai 916 MW kapasitas terpasang. Angka tersebut jauh tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lain yang sudah melampaui 1 gigawatt (GW).
Menurut analis energi terbarukan dari IESR, Alvin Putra lambatnya perkembangan terjadi karena tender proyek skala besar kerap tidak teratur. Target RUPTL 2023 sebesar 750 MW pun hanya tercapai 250 MW atau 33 persen.
Padahal, energi surya tengah mengalami momentum global. Pada 2024, kapasitas terpasang dunia bertambah 600 GW dalam setahun, pencapaian tercepat sepanjang sejarah energi.
Kebijakan dan Tantangan Energi Surya Indonesia
Negara seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia sukses mendorong energi surya melalui kebijakan feed-in tariff. Walau kini dihentikan, momentum tetap berlanjut. Indonesia justru menghadapi ketidakpastian regulasi. Perubahan aturan PLTS Atap, dari sistem net metering ke sistem kuota, memengaruhi minat konsumen dan investor.
Meski demikian, proyek PLTS Terapung Cirata tetap menjadi andalan. Sejak beroperasi pada 2023, fasilitas ini menjadi PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara. Pertumbuhan PLTS Atap masih positif, terutama di industri dan bangunan komersial di Jawa dan Bali. Namun, daerah lain seperti Yogyakarta dan Sumatera Utara masih rendah adopsinya.
Energi surya Indonesia memiliki potensi merata di seluruh Indonesia. Program Listrik Desa berbasis PLTS dan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) terbukti membantu elektrifikasi wilayah terpencil.
Tantangan terbesar adalah biaya distribusi di daerah yang bisa 20 kali lipat lebih tinggi dibanding perkotaan. IESR merekomendasikan pemerintah memperbaiki tender dan memberikan kepastian investasi.
Energi Surya Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga. Namun, dengan kebijakan tepat dan optimalisasi potensi daerah, target nasional 1 GW pada 2025 tetap bisa dikejar.
Demikian informasi seputar energi surya Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Djawanews.com.